Islamedia - Zaman sekarang orang begitu mudahnya menyalah-nyalahkan yang lain dalam melakukan suatu ibadah. Apalagi kalau tidak sesuai dengan perkataan ustadz, syaikh atau kyainya. Dirinya yang benar yang lain salah. Padahal pada masalah fikih ini sudah jelas-jelas telah disediakan ruang perbedaan di dalamnya.
Salah satunya adalah pada masalah mana yang didahulukan antara puasa Syawal dengan puasa qadha. Dalam sebuah artikelnya Muhammad Abduh Tuasikal langsung menghakimi salah kepada sebagian wanita yang langsung memulai puasa syawalnya daripada puasa qadhanya. Langsung juga melarang dan menganggapnya sebagai perbuatan sia-sia, tanpa pahala yang didapat.
Ketika saya tanya kepada teman diskusi tentang dalilnya kesalahan mendahulukan puasa Syawal daripada puasa qadha maka ada tiga dalil sama persis seperti yang diketengahkan Muhammad Abduh Tuasikal sebagai berikut:
Dalil Pertama:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh” (HR. Muslim no. 1164).
Dalil Kedua:
وَمَا تَقَرَّبَ إِلَىَّ عَبْدِى بِشَىْءٍ أَحَبَّ إِلَىَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ
“Tidaklah hambaku mendekatkan diri pada-Ku dengan amalan wajib hingga aku mencintainya” (HR. Bukhari no. 6502)
Dalil Ketiga:
Sa’id bin Al Musayyib berkata mengenai puasa sepuluh hari (di bulan Dzulhijjah),
لاَ يَصْلُحُ حَتَّى يَبْدَأَ بِرَمَضَانَ
“Tidaklah layak melakukannya sampai memulainya terlebih dahulu dengan mengqodho’ puasa Ramadhan.” (Diriwayatkan oleh Bukhari).
Dalil pertama semua sudah sepakat bahwa dalil itu adalah dalil tentang anjuran dan keutamaan puasa enam hari di bulan syawal. It’s Ok. Tetapi ketiga-tiganya itu tidak menunjuk secara khusus adanya larangan mendahulukan berpuasa sunnah Syawal daripada puasa qadha Ramadhan. Sebagaimana juga tidak ada dalil khususnya tentang larangan mendahulukan puasa qadha daripada puasa Syawal.
Ulama yang membolehkan mendahulukan puasa syawal tidak memakai dalil yang kedua yaitu hadits qudsi itu sebagai pelarangan mendahulukan puasa sunnah. Lengkapnya dalil kedua ini sebagai berikut:
Dari Abu Hurairah ra., Rasulullah saw. bersabda : "Sesungguhnya Allah Yang Maha Mulia dan Maha Besar berfirman: "Barangsiapa yang memusuhi waliKu, maka Aku telah mengumumkan perang kepadanya. HambaKu tidak mendekatkan diri kepadaKu dengan sesuatu yang paling Aku sukai dari pada sesuatu yang Aku fardhukan atasnya. HambaKu senantiasa mendekatkan diri kepadaKu dengan sunnat-sunnat sampai Aku mencintainya. Apabila Aku mencintainya maka Aku menjadi pandangan yang untuk mendengarnya, penglihatan yang untuk melihatnya, tangan yang untuk menamparnya dan kaki yang untuk berjalan olehnya. Jika ia memohon kepadaKu, niscaya Aku benar-benar memberinya. Jika ia memohon kepadaKu, niscaya Aku benar-benar melindunginya. Dan Aku tidak bimbang terhadap sesuatu yang Aku lakukan seperti kebimbanganKu terhadap jiwa hambaKu yang beriman yang mana ia tidak senang mati sedang Aku tidak senang berbuat buruk terhadapnya". (Hadits ditakhrij oleh Bukhari).
Dalil yang dipakai dalam pembolehan ini adalah dalil Aisyah radhiyallahu ‘anha yang menyebutkan:
كَانَ يَكُونُ عَلَىَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ ، فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِىَ إِلاَّ فِى شَعْبَانَ
“Aku dahulu masih punya utang puasa dan aku tidak mampu melunasinya selain pada bulan Sya’ban”(HR. Bukhari no. 1950).
Artinya apa? Ulama menafsirkan masih dimungkinkannya untuk membayar puasa Ramadhan sampai bulan Sya’ban sebelum Ramadhan berikutnya. Syari’at memberi ruang keleluasaannya bagi mereka yang punya udzur untuk mengqadha setelah bulan Syawal. Atau dengan kata lain seseorang bisa mengambil jalan tengah untuk bersegera mengambil puasa Syawal dan setelah itu bersegera melaksanakan puasa qadha tanpa tunggu apa-apa lagi.
Walau ada juga ulama lain yang menafsirkan bahwa Aisyah melakukannya karena sibuk mengurus Baginda Kanjeng Nabi Besar Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lagi-lagi ini kembali bagaimana para ulama memahami dan mengambil hadits ini sebagai landasan hukum suatu peribadatan. Dan yang perlu diingat Aisyah radhiyallahu ‘anha tidak pernah tahu sampai kapan beliau masih hidup dan akan meninggal.
Sedang dalil yang ketiga ini adalah kaitannya dengan puasa sepuluh hari di bulan Dzulhijjah bukan puasa Syawal. Kalau ada yang mengatakan bahwa dalil ini bisa dikaitkan dengan puasa syawal karena sama-sama puasa sunnah maka ini dikembalikan lagi kepada tafsir ulama memahami dalil ini. Sebagian ulama memakai dalil ini dan sebagian lainnya tidak. Bukankah yang biasanya kaku itu sering memakai dalil khusus untuk menghukumi sesuatu? Yang dari Sa’id bin Musayyib bukan dalil khusus.
Yang terpenting adalah saya yang juga sebagai penuntut ilmu meminta dengan sangat untuk diterangkan dan dipahamkan apakah yang dari Sa’id bin Musayyib ini merupakan perkataan Nabi atau merupakan perkataan Sa’id bin Musayyib sendiri yang merupakan tabi’in senior di zamannya. Seringkali yang awam seperti saya ini sering kecele kalau setiap yang dari Bukhari adalah hadits Nabi.
Kalau saya lihat, dalil itu bukan hadits Nabi karena Muhammad Abduh Tuasikal pada hadits Bukhari lainnya mampu menyebut HR (hadits riwayat) Bukhari dan mencantumkan nomor haditsnya. Dalil itu menurut saya yang bodoh ini merupakan ijtihad dari Sa’id bin Musayyib sendiri yang dikenal sebagai ulama yang mumpuni. (Soal ini saya serahkan kepada para ahlinya).
Muhammad Abduh Tuasikal juga menulis dalam artikelnya bahwa untuk mendapatkan keutamaan puasa setahun penuh, puasa Ramadhan haruslah dirampungkan secara sempurna, baru diikuti dengan puasa enam hari di bulan Syawal. Dalilnya? Enggak ada. Lagi-lagi ini adalah ijtihad yang ulama lain pun bisa mengambil ijtihad yang berbeda. Benar dapat dua pahala, salah dapat satu pahala.
Jika ada yang mengatakan bahwa tidaklah mengapa wanita tidak melaksanakan ibadah sunnah ini karena masih banyak ibadah utama lainnya yang tidak dapat dikerjakan oleh laki-laki, kita kembalikan kepada hukum awal daripada puasa enam hari di bulan Syawal yakni sunnah: dikerjakan dapat pahala, ditinggal tidak dapat apa-apa atau tidak berdosa. Laki-laki pun jika meninggalkan perbuatan sunnah ini juga tidak berdosa. Tetapi saya katakan: baik perempuan ataupun laki-laki yang meninggalkannya sayang saja atau rugi, karena ia tidak mendapatkan pahala mengikuti sunnah nabi dan pahala puasa setahun penuhnya.
Bagi saya tidak masalah orang mau mengambil yang mana. Apakah dia mau mengambil puasa Syawal dahulu atau puasa qadhanya? Semua punya dalil masing-masing. Mana yang lebih kuat? Subyektif jawabnya. Ulama lain menganggap bahwa bolehnya puasa Syawal didahulukan daripada puasa qadha didukung dalil yang kuat tetapi itu belum tentu kuat buat ulama yang lain. Sebagaimana ada ahli hadits yang menguatkan satu hadits tetapi ulama lain melemahkan hadits tersebut.
Yang masalah bagi saya adalah pada yang menyalah-nyalahkan satu sama lain bahkan sampai menganggap sebagai perbuatan yang sia-sia tanpa pahala sedikitpun. Terlalu berani. Padahal dalam masalah ini—mengutip Ahmad Sarwat—tak satupun yang melanggar batas halal haram ataupun wilayah akidah.
Saya jadi ingat perkataan seorang ulama yang mengatakan: "Para ulama adalah orang-orang dengan keluwesan (tawsi'a). Mereka yang berfatwa tidak pernah berhenti untuk berbeda, sehingga seorang membolehkan sesuatu, sedangkan yang lainnya melarangnya, tanpa menyalah-nyalahkan yang lainnya ketika dia tahu pendapat lainnya."
Wallaahua’lam bishshowab.
Semoga Allah senantiasa memberikan taufik kepada kita semua.
sumber: http://www.islamedia.web.id/2012/08/mendahulukan-puasa-syawal-daripada.html
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar